Rolasan.id Klaten. ~ Dewan Pembina Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Kabupaten Klaten KH.Sugiyanto mengatakan bahwa umat islam hendaknya bermedia sosial sesuai dengan fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017. Fatwa MUI terkait etika bermedia sosial tersebut dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi umat Islam dalam bermuamalah (beraktivitas) di media sosial.
“Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial” katanya..
Menurut Sugiyanto fatwa ini sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk menjadi panduan dalam menyikapi derasnya informasi di era media sosial saat ini.
“Apalagi berbagai hal bisa dengan mudah viral di dunia maya dan diperlukan panduan untuk menyikapinya.” katanya.
Terkait fatwa ini menurut Sugiyanto saat menyampsikan materi sosialisasi fstwa-fstwa MUI yang dikemas dengan workshop Komisi Komunikasi dan Informasi MUI Klaten sekaligus sosialisasi kepada MUI Kecamatan se Kabupaten Klaten, Sabtu ( 30/9/2023 ).
“Upaya ini dilakukan untuk menguatkan pemahaman tentang isi fatwa tersebut bagi umat Islam, khususnya para pengurus MUI dan tokoh masyarakat dalam berinteraksi melalui media sosial” ujarnya.
Dikatakan bahwa banyak dalil dalam Al-Qur’an dan hadits yang menjadi panduan dalam bermedia sosial, diantaranya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan pentingnya tabayyun (klarifikasi) ketika memperoleh informasi yakni surat Al-Hujurat: 6 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Bahkan menurut Sugiyanto hadits Nabi saw juga perlu dijadikan rujukan dalam bermedia sosial yang memerintahkan untuk bertutur kata yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah. “Hadits ini berasal dari Abi Hurairah ra yang artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lebih lanjut dikatakan dalam bermuamalah di media sosial setiap muslim wajib senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran dan kemaksiatan, mempererat ukhuwwah, dan memperkokoh kerukunan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah.
“Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antar golongan, menyebarkan hoaks, pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. setiap muslim juga diharamkan menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya, memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.” katanya.
Selain itu diharamkan bagi setiap muslim memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi negatif serta mencari-carinya. Memproduksi dan/atau menyebarkan konten/informasi yang bertujuan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak juga haram hukumnya.
“Umat Islam haram menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik. Haram juga melakukan aktifitas buzzer di media sosial yang menjadikan penyediaan informasi berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, dan membantu menyebar luaskan” katanya..
Nara sumber kedua seorang jurnalis dari Media Indonesia Djoko Sardjono menjelaskan bahwa perkembangan zaman modern membuat kehidupan manusia dari berbagai aspek berubah. Salah satu perubahan itu terdapat pada aspek muamalah.
“Adapun muamalah yang dimaksud dalam konteks ini bukan kegiatan transaksi jual beli, melainkan lebih kepada proses interaksi sosial baik individu maupun kelompok yang terkait dengan hubungan antarmanusia meliputi kegiatan pembuatan (produksi), penyebaran (distribusi), akses (konsumsi) suatu informasi yang dilakukan melalui platform media sosial.” terangnya.
Dikatakan kemunculan media sosial sebagai salah satu tanda kemajuan teknologi, turut memberi sumbangsih adanya perubahan terkait cara kita bermuamalah dalam kehidupan bermasyarakat.
“Secara konvensional, dahulu manusia biasa melakukan interaksi sosial melalui tatap muka. Namun kebiasaan ini perlahan berubah dengan kehadiran teknologi di hidup manusia. Sekarang melalui gawai, kita sudah bisa melakukan berbagai macam jenis interaksi sosial termasuk bermuamalah didalamnya.” katanya.
Menyikapi hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait pedoman bermuamalah di media sosial berdasarkan tuntunan agama, agar dalam bermuamalah melalui media sosial dapat berjalan dengan kondusif dan terhindar dari hal-hal yang menjurus pada perbuatan negatif.
Berikut ini hukum dan pedoman kegiatan bermuamalah di media sosial yang baik, merujuk pada Fatwa MUI No 24 Tahun 2017.
1.Bermuamalah dilandasi dengan iman dan taqwa pada Allah SWT. 2.Dalam bermuamalah dengan sesama, baik dalam kehidupan riil maupun media sosial, setiap Muslim wajib mendasarkan pada keimanan dan ketakwaan, kebajikan (mu‟asyarah bil ma‟ruf), persaudaraan (ukhuwwah), saling wasiat akan kebenaran (al-haqq) serta mengajak pada kebaikan (al-amr bi al-ma‟ruf) dan mencegah kemunkaran (al-nahyu an al-munkar).
3.Memperhatikan adab saat bermuamalah, bshwa setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial wajib memperhatikan etika atau adab saat bermuamalah, baik pada sesama umat muslim maupun yang bukan Muslim. 4. Konsep bermuamalah yang baik adalah senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan, tidak mendorong kekufuran serta kemaksiatan. 5.Selain itu, muamalah juga dapat dijadikan ajang untuk mempererat persaudaraan (ukhuwwah),baik persaudaraan keislaman(ukhuwwah Islamiyyah), persaudaraan kebangsaan(ukhuwwah wathaniyyah), maupun persaudaraan kemanusiaan(ukhuwwah insaniyyah).
Selanjutnya dilarang menghasut dan memfitnah di media sosial
Setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk melakukan ghibah, fitnah, berprasangka buruk, namimah (adu domba), penyebaran permusuhan, melakukan bullying, ujaran kebencian, dan ajakan permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan.
Persoalan-persoalan ini secara tegas dibahas dan dilarang berdasarkan dalil berikut:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing.
( moch isnaini/ red )